Kejagung Dinilai Kurang Serius Ungkap Keterlibatan Bos “Gulaku”

HUKUM/KRIMINAL201 Dilihat

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan dirinya bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi pun melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk ambil alih.”Betul, koalisi kemarin diwakili oleh Mas Sugeng Teguh Santoso (dari IPW) dan kawan-kawan sebetulnya mendorong penindaklanjutan terhadap dugaan korupsi yang didasarkan pada catatan dari kasus Zarof Ricar, yang kita tahu sudah tersangka TPPU dan di dalam kasus pertamanya, yaitu tersangka suap itu belum secara terang-benderang dibongkar oleh jaksa mengenai dua hal,” tutur Julius kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (18/5/2025).Ada dua hal yang mereka sorot. Pertama, berkenaan dengan sumber uang yang diterima Zarof dan yang kedua terkait dengan pemilik uang.

“Nah kalau dari dua indikator itu maka kita bisa mendapatkan lebih detail indikator-indikator turunannya ya itu bagaimana alirannya, untuk tujuan apa, bagaimana cara mengalirnya dan segala macam. Dan ini sebetulnya yang didorong,” tegasnya.

Ia memahami bila Kejaksaan Agung (Kejagung) tentu membutuhkan waktu yang amat sangat komprehensif dan panjang, untuk dapat membongkar uang dengan nilai Rp915 miliar. Karenanya, agar meringankan beban Korps Adhyaksa, koalisi masyarakat sipil melapor ke lembaga antirasuah.”Jadi ini yang kami dorong agar terus diperiksa dan apabila Kejagung memiliki keterbatasan dalam waktu dan tenaga, sebetulnya kan KPK juga berwenang. Dan itulah latar belakang, kenapa teman-teman Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan ke KPK, karena memang memiliki kewenangan yang sama dan dapat mengusut tuntas dugaan kasus Tipikor ataupun TPPU-nya begitu,” tandasnya.

Sebelumnya, saat bersaksi dalam perkara dugaan suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tanur di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/5/2025), Zarof mengakui pernah menerima dana masing-masing sebesar Rp50 miliar dan Rp20 miliar dari pihak Sugar Group Companies (SGC), melalui salah seorang pemiliknya bernama Ny. Purwanti Lee.Pengakuan tersebut memperkuat dugaan barang bukti berupa uang Rp915 miliar dan 51 kilogram emas berkaitan dengan dugaan tindak pidana suap selama menjabat di MA.

Dalam persidangan, disebut adanya ‘meeting of minds’ antara Zarof Ricar dan pihak SGC dalam kaitannya dengan upaya memenangkan perkara perdata melawan Marubeni Corporation di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), yang berkaitan dengan sengketa kewajiban pembayaran ganti rugi senilai Rp7 triliun.

Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi menyampaikan laporan kepada Jamwas Kejagung pada 28 April 2025, mengenai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang terkait arahan yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar menerapkan pasal gratifikasi dan bukan suap, yang dinilai dapat mempengaruhi proses penyidikan.”Peristiwa ini merupakan bentuk kejahatan serius yang memiliki motif dan mens rea ingin ’mengamankan’ pemberi suap, termasuk SGC, dan melindungi hakim agung pemutus perkara, sebagai pemangku jabatan yang dapat membuat putusan yang menjadi tujuan akhir pemberian uang tersebut,” ujar Koordinator Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi Ronald Loblobly kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/5/2025).

Menurut Ronald, beberapa nama hakim agung yang menangani perkara kasasi dan PK tersebut tercatat dalam dokumen resmi, di antaranya Sunarto, Soltoni Mohdally, dan Syamsul Maarif. Ia juga menyampaikan kekhawatiran bahwa situasi ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam proses peradilan.“’Penyanderaan’ itu diduga dimaksudkan agar Ketua MA Sunarto, dapat ’dikendalikan’ untuk kepentingan mengamankan tuntutan perkara-perkara korupsi yang kontroversial agar tetap divonis bersalah. Kasus suap ini akan kami laporkan ke KPK pekan depan,” ujarnya.

Ronald menyebut, tidak dikenakannya pasal suap terhadap barang bukti berupa uang dan logam mulia tersebut, dapat dinilai sebagai bentuk penyimpangan dalam penegakan hukum, yang berpotensi masuk dalam kategori obstruction of justice.

Ia merujuk pada sejumlah peraturan dan UU yang mengatur etik dan kewenangan aparat penegak hukum, termasuk Peraturan Jaksa Agung serta ketentuan dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dikualifikasi melanggar Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa jo pasal 3 huruf b, pasal 4 huruf d, pasal 7 ayat 1 huruf f Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa, pasal 2 huruf b Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2024, poin 15 pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 dan/atau Pasal 421 KUHP dan/atau Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Suap Jadi Jurus Ngemplang Utang?
Kasus antara SGC dan Marubeni Corporation (MC) berawal dari proses akuisisi yang dilakukan oleh pengusaha Gunawan Yusuf bersama rekan-rekannya. Melalui PT Garuda Panca Artha (GPA), mereka memenangkan lelang aset SGC—yang saat itu dimiliki oleh Salim Group—pada 24 Agustus 2001. Lelang yang diselenggarakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dilakukan dengan skema as is, dengan nilai transaksi sebesar Rp1,161 triliun. Seluruh peserta lelang, termasuk GPA, telah diberitahu kondisi menyeluruh SGC, termasuk aktiva, pasiva, serta posisi utang dan piutang perusahaan.Namun setelah menjadi pemilik baru, Gunawan Yusuf dan kelompoknya menolak membayar utang SGC sebesar Rp7 triliun kepada Marubeni Corporation. Mereka berdalih utang tersebut merupakan hasil rekayasa antara Salim Group dan Marubeni sebelum akuisisi terjadi.

Untuk mendukung klaim ini, Gunawan Yusuf cs menggugat Marubeni melalui sejumlah entitas perusahaan, yakni PT SI, PT IP, PT GPM, PT IDE, dan PT GPA, ke Pengadilan Negeri Kota Bumi dan Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Gugatan tersebut teregister dalam perkara No. 12/Pdt.G/2006/PN/GS dan No. 04/Pdt.G/2006/PN.KB.Namun, gugatan tersebut ditolak dalam putusan tingkat kasasi. MA melalui putusan No. 2447 K/Pdt/2009 dan No. 2446 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010 menyatakan dalil rekayasa utang tidak terbukti. Kedua putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Majelis hakim menegaskan, tidak ada bukti bahwa utang sebesar Rp7 triliun itu direkayasa. Sebaliknya, pinjaman luar negeri tersebut telah dilaporkan kepada Bank Indonesia dan tercatat dalam laporan keuangan resmi sejak 1993 (SIL) dan 1996 (ILP) hingga 2001.Dalih rekayasa utang senilai Rp 7 triliun antara Marubeni Corporation (MC) dan Salim Group yang digunakan Gunawan Yusuf cs dalam gugatan terhadap MC justru terbantahkan oleh bukti-bukti yang disampaikan sendiri oleh pihaknya. Melalui kuasa hukum, Gunawan Yusuf menyampaikan surat tertanggal 21 Februari 2003 yang menyatakan kesediaannya untuk menyelesaikan kewajiban utang serta mengajukan usulan pemangkasan sebagian kewajiban (haircut).

Tak hanya itu, surat lain bertanggal 12 Maret 2003 menunjukkan Gunawan Yusuf menawarkan penerbitan promissory note senilai USD 19 juta sebagai bagian dari penyelesaian utang tersebut. Fakta ini makin menguatkan bahwa tuduhan rekayasa utang oleh MC dan Salim Group tidak berdasar.MA telah menyatakan melalui putusan kasasi No. 2446 dan 2447 K/Pdt/2009 bahwa SGC tetap memiliki kewajiban membayar utang kepada MC. Kedua putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).Alih-alih mengajukan peninjauan kembali (PK) atas dua putusan kasasi tersebut, Gunawan Yusuf dan tim hukumnya justru melayangkan empat gugatan baru secara serempak. Langkah ini memanfaatkan Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.

Namun, substansi gugatan baru itu sejatinya sama dengan perkara yang telah diputus dalam kasasi 2009. Perbedaan hanya pada bagian-bagian yang bersifat aksesori. Seluruh perkara tersebut akhirnya bergulir hingga ke tingkat kasasi dan peninjauan kembali.Hakim, Dugaan Suap, dan Polemik Etik
Putusan kasasi atas gugatan-gugatan baru itu ditangani oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai oleh Soltoni Mohdally, berikut beberapa putusan kasasi itu antara lain: No. 1696 K/Pdt/2015, No. 1700 K/Pdt/2015, No. 1697 K/Pdt/2015, No. 1699 K/Pdt/2015, dan No. 1698 K/Pdt/2015.

Dalam perkembangan selanjutnya, perkara tersebut juga diajukan peninjauan kembali, dengan putusan-putusan PK sebagai berikut:No. 1363 PK/Pdt/2018, No. 1364 PK/Pdt/2024, No. 144 PK/Pdt/2018 (27 April 2018), No. 818 PK/Pdt/2018 (2 Desember 2019), dan No. 697 PK/Pdt/2018 (8 Oktober 2018). Keempat PK ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sunarto, yang kini menjabat sebagai Ketua MA RI.

Nama Sunarto juga dikaitkan dengan Zarof Ricar, mantan hakim yang disebut ikut dalam kunjungan Sunarto ke Keraton Sumenep pada 27–28 September 2024, meski telah pensiun sejak 2022.Menurut Ronald, seorang narasumber, total dugaan suap dari SGC dalam rangka mengamankan perkara ini mencapai Rp200 miliar. Hal itu diperkuat oleh catatan tertulis hasil penggeledahan di rumah Zarof Ricar oleh penyidik, berisi frasa-frasa seperti “Titipan Lisa”, “Untuk Ronal Tannur: 1466/Pid.2024”, “Pak Kuatkan PN”, hingga “Pelunasan Perkara Sugar Group Rp200 miliar”.

Salah satu putusan yang disorot tajam adalah perkara No. 1362 PK/Pdt/2024, yang diputus oleh Hakim Agung Syamsul Maarif hanya dalam waktu 29 hari—padahal tebal berkas perkara semestinya membutuhkan waktu sekitar empat bulan untuk ditelaah. Keputusan cepat itu dipandang mencurigakan, apalagi Syamsul Maarif sebelumnya pernah menangani perkara yang berkaitan, sehingga seharusnya mengundurkan diri sesuai amanat Pasal 17 UU No. 48/2009.Gunawan Yusuf, pemegang saham baru PT SGC, pernah masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia, dengan posisi ke-44. Ia lahir di Jakarta pada 6 Juni 1954 dan dikenal sebagai tokoh bisnis yang memiliki portofolio usaha di berbagai sektor, termasuk melalui PT Makindo Tbk.

Pada 20 April 2004, nama Gunawan Yusuf pernah tercatat sebagai terlapor dalam kasus dugaan penipuan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Bareskrim Polri, berdasarkan laporan dari Toh Keng Siong. Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan penempatan dana sebesar USD 126 juta ke PT Makindo pada tahun 1999.Penyelidikan terhadap laporan tersebut ditangani Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri. Meski pada 19 Oktober 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Toh Keng Siong dalam praperadilan (Putusan No. 33/Pid.Prap/2012/PN/JKT.SEL), namun perkara ini tidak dilanjutkan hingga tuntas dan berakhir dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 2018.

Selain itu, Gunawan Yusuf juga sempat disebut dalam persoalan perpajakan yang bernilai cukup signifikan, yakni mencapai Rp 494 miliar, yang terkait dengan aktivitas perusahaannya, PT Makindo Tbk.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *