BADIK, Pelindung Harkat dan Harga Diri dalam Tradisi Lampung. Buku – 7: Warisan yang Tidak Pernah Tumpul. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Reviews10 Dilihat

MediaKabarNusantara.com – Bandar Lampung – Dalam pusaran zaman yang senantiasa berubah, banyak tradisi memudar, tergerus oleh laju modernitas. Namun, ada sesuatu yang tetap lestari, bagai baja pilihan yang diasah berulang kali, tidak pernah kehilangan ketajamannya. Badik Lampung, lebih dari sekadar senjata, adalah sebuah prinsip hidup yang diwariskan turun-temurun. Ia merupakan manifestasi nyata dari filosofi piil pesenggiri, harkat, harga diri, dan martabat, yang menjadi jiwa dari masyarakat adat Lampung. Esai ini akan menelusuri keabadian warisan Badik, bagaimana nilai-nilai yang dikandungnya bertahan melewati berbagai era, disalurkan melalui legenda, silsilah marga, dan ritual-ritual sakral yang tetap hidup hingga kini.

Kekuatan sebuah warisan terletak pada kedalaman akarnya. Dalam konteks Badik, akar tersebut tertanam kuat dalam legenda dan silsilah marga-marga besar Lampung. Masyarakat adat Lampung, terbagi dalam kelompok Pepadun dan Saibatin, menyimpan kisah-kisah yang mengubungkan Badik dengan asal-usul dan identitas mereka.
Salah satu legenda yang hidup dalam tradisi lisan masyarakat Pepadun, khususnya marga Buyut Undom, menceritakan tentang seorang pemuda bernama Si Jempol.

Suatu ketika, wilayahnya diteror oleh seekor babi hutan raksasa yang menghancurkan ladang. Seluruh prajurit gagal menaklukkannya. Si Jempol, yang bukan prajurit, kemudian meminta seorang pandai besi keturunan untuk membuatkan sebilah badik.
Badik itu tidak dibuat dari besi biasa, tetapi dari logam meteorit yang jatuh dari langit, dipanaskan dengan api dari kayu-kayu keramat dan ditempa dengan mantra-mantra. Dengan keyakinan penuh, Si Jempol menghunus badiknya dan berhasil mengalahkan babi hutan tersebut bukan dengan kekuatan kasar, tetapi dengan satu tusukan tepat pada titik kelemahannya.

Baca Juga :  Serial Buku – Dapur dan Warisan: Cerita Makanan Adat Lampung. Buku 5 – Kue Adat dan Doa Ibu. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Legenda ini mengajarkan bahwa Badik bukanlah alat untuk kekerasan sembarangan, melainkan simbol kecerdikan, ketepatan, dan keberanian yang dilandasi oleh spiritualitas yang dalam.
Kisah lain dari ranah Saibatin, tertuang dalam Kitab Kuntara Raja Niti, menyebutkan peran Badik dalam penobatan seorang penyimbang (pemimpin adat). Naskah kuno tersebut menyatakan: “Maka sai batin itu akan diberikan keris di sebelah kanan, dan badik di sebelah kiri. Yang kanan tanda kekuasaan, yang kiri tanda penjaga diri dan harga negeri.”
Analisis mendalam terhadap kutipan ini menunjukkan dualitas kepemimpinan. Keris di kanan melambangkan kekuasaan formal dan kewenangan untuk memimpin. Sementara Badik di kiri adalah simbol dari kewajiban untuk mempertahankan, baik diri, keluarga, maupun marwah seluruh masyarakat (harga negeri). Posisinya di kiri, dekat dengan jantung, menandakan bahwa pertahanan atas harga diri adalah persoalan yang sangat personal dan mendalam, sebuah amanah yang melekat pada jiwa sang pemimpin.

Dalam silsilah marga Melinting, misalnya, setiap calon pemimpin harus menunjukkan kemampuan dan pemahaman mendalam terhadap filosofi Badik sebelum dapat dinobatkan.
Warisan Badik tidak hanya terjaga melalui cerita, tetapi juga melalui ritual-ritual yang penuh makna. Setiap tahapan dalam kehidupan sebuah Badik, dari penempaan, pemberian nama, hingga perawatannya, adalah sebuah pelajaran filosofis yang mendalam.
1. Ritual Penempaan (Betembang): Sebelum pandai besi (empu) mulai bekerja, dilakukan upacara betembang (meminta izin) kepada leluhur dan kekuatan alam. Api untuk menempa tidak dinyalakan sembarangan; ia harus berasal dari kayu tertentu yang diyakini memiliki unsur spiritual. Proses ini mencerminkan nilai sakai sambayan (gotong royong) dan penghormatan terhadap alam. Pembuatan Badik adalah usaha kolektif yang melibatkan tidak hanya manusia, tetapi juga elemen-elemen kosmis. Sebuah petuah adat mengatakan, “Besi dapuk, batu diasah, api menyala, hati hendaklah yang lebih terang.” Ini berarti, selama proses penempaan, ketajaman mata hati dan niat suci sang empu lebih penting daripada keterampilan teknis semata.
2. Ritual Pemberian Nama (Ngebuka Ajei): Setiap Badik pusaka memiliki namanya sendiri, seperti Si Pahit, Si Mualang, atau Si Bintang Petang. Nama ini diberikan melalui ritual ngebuka ajei (membuka/memberi jiwa). Badik dianggap sebagai entitas yang hidup dan memiliki semangat (ajei). Pemberian nama adalah sebuah ikrar, sebuah pengakuan bahwa benda ini akan menjadi bagian dari diri pemiliknya dan keluarganya. Ritual ini mempertegas bahwa Badik bukanlah benda mati, melainkan partner hidup yang akan membimbing pemiliknya pada jalan kebenaran.
3. Ritual Perawatan (Belangir): Badik dirawat secara berkala dengan ritual belangir, dimandikan dengan air jeruk limau dan bunga-bunga tertentu. Ini bukan sekadar pembersihan dari karat, tetapi sebuah upaya pemurnian spiritual. Dalam filosofi Lampung, karat dianggap sebagai simbol dari niat jahat, kebencian, dan pengaruh buruk yang dapat mengotori jiwa. Belangir adalah metafora untuk menyucikan kembali niat dan mengasah kembali komitmen untuk menjunjung tinggi piil pesenggiri. Sebagaimana dikatakan dalam Kuntara Raja Niti, “Badik berkarat, tanda tuan tiada ingat; hati berkarat, tanda iman tiada sempurna.” (Badik yang berkarat tanda tuannya lalai; hati yang berkarat tanda imannya tidak sempurna).

Lantas, bagaimana warisan ini tetap tidak pernah tumpul? Kuncinya terletak pada elastisitas nilai-nilainya. Nilai piil pesenggiri tidak lagi hanya diartikan sebagai kesiapan bertarung fisik, tetapi sebagai integritas dalam berkarier, kejujuran dalam berbisnis, dan keteguhan dalam membela kebenaran di dunia modern. Nilai sakai sambayan tercermin dalam semangat komunitas dan media sosial untuk melestarikan budaya Badik.
Warisan Badik yang sejati bukanlah benda fisiknya, melainkan api filosofinya, nilai-nilai keberanian yang cerdas, ketepatan dalam bertindak, tanggung jawab untuk melindungi, dan komitmen untuk menjaga kesucian hati. Api inilah yang terus menerus diteruskan, dirawat, dan disesuaikan dengan konteks zamannya. Selama masih ada orang Lampung yang memegang teguh piil pesenggiri, selama itu pula warisan Badik akan tetap hidup, tajam, dan relevan, sebuah warisan yang benar-benar tidak pernah tumpul. (*)

Sumber Referensi Terverifikasi:
1. Buku:
o. Gunawardana, R. A. (2015). Senjata Tradisional Nusantara: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolis. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
o Hilman, I. (2008). Adat Istiadat Lampung: Dalam Perspektif Sejarah. Bandar Lampung: Lenggang Publishing.
2. Jurnal Ilmiah:
o. Febrianto, A. (2020). “Simbolisme dan Nilai Filosofis pada Badik Lampung” dalam Jurnal Artefak, Vol. 8, No. 2.
o. Suryani, E. (2019). “Ritual dan Kepercayaan dalam Pembuatan Senjata Tradisional di Indonesia” dalam Jurnal Kajian Budaya, Vol. 12, No. 1.

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *