MediaKabarNusantara.com – Polemik seputar praktik penjualan foto resmi Gubernur-Wakil Gubernur dan Bupati-Wakil Bupati yang menyebar di sekolah-sekolah dan tiyuh (desa) se-Tulang Bawang Barat (Tubaba) telah menjadi perbincangan publik. Meski tampak sepele isu ini mengandung dimensi moral, etik, bahkan berpotensi pelanggaran hukum dalam konteks pengelolaan anggaran negara.
Kabar yang beredar menyebutkan bahwa praktik ini dikendalikan oleh “oknum” di lingkup Dinas Pendidikan untuk wilayah sekolah serta “oknum” Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) untuk wilayah tiyuh. Meski disebutkan bahwa penjualan dilakukan secara “sukarela” tanpa unsur paksaan sama sekali.
kita perlu bertanya benarkah demikian jika prosesnya dikoordinir oleh pihak “ oknum “ Dinas Pendidikan dan APDESI bukankah dalam sistem yang penuh subordinasi seperti sekolah dan pemerintahan tiyuh, “penawaran” bisa berubah menjadi tekanan yang tak kasatmata ? Apakah sekolah dan tiyuh bisa menolaknya ?
Yang menjadi perhatian publik bukan semata soal eksistensi penjualan foto, tetapi soal harga yang dinilai tidak wajar konon berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp1 juta. Padahal di pasaran harga produk serupa jauh di bawah itu. Maka, wajar jika muncul dugaan adanya pengkondisian harga oleh para oknum yang berkepentingan. Bila benar harga sudah dikondisikan dan dibebankan kepada satuan pendidikan atau pemerintahan tiyuh, maka praktik ini bukan sekadar urusan jual beli, melainkan bisa masuk dalam ranah penyelewengan anggaran dan etika jabatan.
Perlu diingat uang yang digunakan untuk membeli foto-foto pejabat tersebut bukanlah uang pribadi kepala sekolah atau kepala tiyuh, melainkan uang negara. Setiap pengeluaran dari anggaran publik wajib mempertimbangkan prinsip efisiensi, kewajaran harga, dan kesesuaian dengan ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah. Bila tidak, potensi penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara terbuka lebar.
Lebih jauh muncul pula spekulasi bahwa penjual foto merupakan bagian dari tim sukses pasangan petahana dalam Pilkada 27 November 2024. Meskipun yang bersangkutan telah membantahnya. Harus diingat bahwa pembantahan itu tidak serta-merta menghilangkan persepsi publik. Dan seandainya benar keterlibatan tim sukses dalam kegiatan yang melibatkan anggaran negara akan menimbulkan konflik kepentingan yang serius, apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan tanpa transparansi dan mekanisme yang legal.
Ketua Komisi I DPRD Tubaba, Yantoni, secara tegas menyatakan penolakannya terhadap penjualan foto dengan harga tidak masuk akal tersebut. Sikap ini patut diapresiasi. Namun pertanyaan lebih besar perlu dijawab oleh Pemerintah Kabupaten Tubaba. Mengapa tidak ada anggaran resmi untuk pengadaan foto kepala daerah dan wakilnya yang bisa langsung disalurkan ke sekolah dan tiyuh tanpa harus membeli sendiri ?
Jika memang pengadaan foto resmi merupakan kebutuhan seremonial negara, semestinya menjadi bagian dari anggaran pemerintah, bukan dibebankan kepada institusi bawah yang notabene dibiayai dari APBN/APBD juga.
Dalam konteks ini sudah semestinya Bupati dan Wakil Bupati bersikap. Publik menanti sikap tegas mereka untuk meluruskan persoalan ini. Diam dalam isu seperti ini dapat dimaknai sebagai pembiaran atau bahkan restu diam-diam atas harga yang tak masuk akal itu.
Polemik “penjual foto” bukan hanya urusan jual beli semata melainkan soal kepantasan moral, etika pemerintahan, serta tata kelola anggaran yang bersih dan bertanggung jawab. Ini adalah ujian integritas bagi semua pihak yang terlibat. Jika dibiarkan, praktik ini akan menjadi preseden buruk bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk memaksa, menyusupi, dan mengeruk keuntungan bahkan dari hal-hal yang tampak sederhana. (Red)